Pages

Jumat, 09 Oktober 2009

Bingkai Waktu di Ujung Jembatan

Rianti mengayuh sepedanya dengan sedikit menggigil. Musim hujan akan segera datang tampaknya. Angin berhembus kencang, menerbangkan dedaunan kering yang jatuh melayang dari pokok pohon. Udara terasa lebih dingin dan basah.

Setiap hari Rabu, Rianti pulang sekolah terlambat, karena dia mengikuti ekstra kurikuler seni drama. Biarpun rumahnya agak jauh dari sekolahnya, Rianti tetap bersemangat ikut, karena dia selalu mengangankan jadi pementas teater. Memainkan peran-peran sederhana, dengan dandanan apa adanya, sesederhana impiannya...

Dalam perjalanan dari sekolah ke rumah, dia melewati jembatan tua yang dibangun sejak jaman kolonial.Dulunya merupakan satu-satunya penghubung antara kota bagian Barat dan Timur, untuk melintasi sungai besar yang membelah kota kelahirannya itu. Tapi jembatan itu begitu khas bagi Kediri, bagi Rianti pula. Karenanya dia suka menengok kiri-kanan saat bersepeda melintas jembatan. Melihat tepian air cokelat, melihat para pemancing lokal berjejeran di trotoar jembatan,melihat kerlip lampu kota di seberang sungai, apa pun itu...Rianti selalu menyukai derik suara ban sepedanya saat menggilas aspal tipis di atas jembatan.

Dan setiap kali Rianti sampai di ujung jembatan tua itu, dia melihat seorang laki-laki tua meringkuk duduk di sebelah rak kayu, dengan beberapa dagangan rokok yang cuma beberapa bungkus saja. Dia meringkuk, bergelung dalam sarungnya yang kumal, sambil menyedot rokok kretek lintingan.

Di antara deru angin malam, ditemani nyala lampu tempel yang temaram, bapak tua itu menunggu. Menunggu pelanggannya membeli satu-dua batang rokok,kah?

Tiap-tiap Rabu, bila Rianti ikut ekstra seni drama, dan dia pulang malam, dia melihat bapak tua itu. Kadang Rianti melempar senyuman, tapi wajah tua itu diam tanpa ekspresi. Dia serius dalam sikap duduknya yang bersila di atas sebuah kursi reot, sehingga mungkin tidak melihat wajah mungil Rianti yang tersenyum padanya dari seberang jalan sana.

Tiga tahun masa SMA nya, di ujung jembatan itu Rianti menemukan sebuah kilasan-kilasan yang seakan-akan diputar berulang-ulang...Sehingga aneh rasanya, seakan dia sedang memotret pemandangan itu dalam benaknya, sebuah gambaran lelaki tua keriput, dengan rokok kretek lintingan, bergelung dalam sarung kumal, di samping rak kayu.

***
Yang terjadi kemudian adalah Rianti diterima di sebuah Perguruan Tinggi Negeri terkenal, di luar Kediri. Lima tahun dia belajar di sana.Banyak cerita, tawa, kebahagiaan, prestasi, stres memikirkan ujian, jatuh cinta pada idola kampus, persahabatan, hidup Rianti berputar..



Rianti bertumbuh dewasa, enggan bermain peran lagi, seolah-olah dia sudah menghapus keinginannya menjadi pemeran drama teater dengan peran sederhana dan dandanan apa adanya. Keinginan itu tidak penting lagi, Rianti sudah menggantinya dengan impian baru, tentunya.

Tapi tentu Rianti tidak tahu apa yang terjadi pada potret kehidupan di ujung jembatan itu...Yang setiap Rabu semasa SMA-nya dia lewati. Bagaimana ceritanya si Bapak tua itu dengan rak kayu rokok-nya...?

***


Aku sering melintasi jembatan itu,
dengan sebuah cerita bisu,
tentang seorang bapak tua penjual rokok.
Aku merasa aku semakin berkembang,
dan dia semakin menyusut...
Aku semakin cemerlang,
dan dia semakin kisut...


Sekarang, ujung jembatan itu kosong.
Tidak ada potret laki-laki tua dengan sarung kumalnya
atau dengan rokok kretek lintingan...
Tidak ada cerita yang tersisa tentangnya.
Entah pula siapa namanya.
Tapi, potret itu telah kubingkai,
setidaknya dalam benak kecilku..
Untuk sekedar mengingatkanku,
bahwa hidup terus berlalu,
mencapai klimaksnya,
dan suatu saat akan kembali menciut...


-Rianti-


Jembatan Brantas kota Kediri :
(sumber gambar : www.panoramico.com)






Free MP3 Downloads at MP3-Codes.com