Pages

Jumat, 11 November 2011

Mimpi Yang Sedih (2)



Tahun ketiga bagi aku dan Niko.
Bukanlah waktu yang singkat untuk menjalani hubungan penuh "kepura-puraan" ini. Aku sebut demikian karena kami saling berpura-pura bahwa, That's fine...We'll be fine...All is fine.
Tapi cinta kami tidak pura-pura. Aku merasakannya jauh di dalam dasar hatiku, aku mengharapkan bisa bersama Niko, for the rest of my life. Till death do us appart. Dan aku yakin, Niko pun demikian.

Sebaliknya...tidak ada yang "baik-baik" saja sebenarnya. Di dalam, kami bergolak, bertarik-tarikan. Saling menanyakan, di mana ujung semua cerita semu ini. Kami menyimpan bom waktu di dalam hati kami masing-masing, yang pada saatnya meledak...dia akan menghancurkan hati, mungkin sampai keping terkecil...


Tuhan,
Apakah ini kehendak-Mu...
buatku mengenal cinta melalui dia...
Seseorang yang tidak mungkin kumiliki.

Tuhan,
jika ku layak bertanya...
Mengapa ini jauh berbeda...di saat aku melihat sesuatu yang sama...
tentang cinta.

Sesuatu yang kami genggam dan tak mungkin kami lepaskan,
Apakah untuk melukai?
Ataukah batas yang tak pernah bisa ditembus?
Engkau melihat hati kami...
Seperti air embun yang bening dan murni.
Begitulah kami di hadapan-Mu.
Namun sekejab lenyap bersama sinar-Mu.

Aku menyerah,
Aku manusia tak mampu menyelami sepucuk ilmu tentang-Mu.
***

"Nick, aku dengar-dengar kamu lagi dekat dengan Fara, ya?" tanyaku pada Niko.
Beberapa kali malahan, slentingan-slentingan tidak enak tsb. mampir ke telingaku.
Aku mencoba untuk meredam amarahku, tapi akhirnya aku tidak tahan juga.

"Kenapa? Bukannya selama ini kamu tak pernah percaya kepadaku...Apa susahnya bagimu untuk tahu aku bersama Fara, or any girls...," jawab Niko.
Sikapnya yang selalu "enteng" ini sering membuatku naik pitam.
"Ooohh, jadi benar, gosip itu?" tanyaku sambil menaikkan nada bicara.
"Sofie... kamu kan yang mau play a game? Okay... ini baru game..!" jawab Niko tak kalah sengitnya.
Aku memandang wajahnya. Rasanya gondok bangeeett...
Aku akan kehilangan dia, sooner or later...
So, apa bedanya...sekarang atau nanti?
God, matanya indah sekali. Aku memuja kedua mata yang Kau ciptakan begitu sempurna itu. Tatapannya yang teduh, mungkin tidak akan pernah lagi aku melihat bayanganku di sana.
Tiba-tiba kedua mataku berkaca-kaca.

"Aku sedih kamu tidak pernah tahu, bahwa ini menyakitkan bagiku. Sangat menyakitan..." kataku.
Aku menonjok dada Niko, pelan tapi dalam.
Ketika aku beranjak pergi, dengan cepat Niko meraih tanganku.
"Aku tidak ingin bersama Fara..or any other girls. Aku hanya ingin bersamamu, Sofie...percayalah," kata Niko.

Terima kasih, sweetheart... Kamu selalu manis padaku. Sebutir air mataku meleleh, dan aku menghapusnya dengan cepat.
***

Rasanya aku ingin waktu berhenti, tidak akan ada bulan Desember. This is November coming again...
Aku masih teringat jelas pertengkaran kami siang tadi. Fara...or siapa pun itu...Mungkin tidak penting siapa di antara kita,Niko...tapi kita memang tidak ditakdirkan bersama.




Jumat, 04 November 2011

Mimpi Yang Sedih


Aku bermimpi,tentang padang yang luas,
langit biru berpendar,Hanya ada kita di sana,Kau dan aku...
Kita berjalan bersisian,
Saling berpegang tangan...



***
Aku mempercepat langkahku. Terik matahari kota Surabaya panas menyengat siang ini.
"Hei, tunggu...!" seru sebuah suara.
Aku memperlambat langkahku...sambil menoleh kanan-kiri-belakang...
Oh, rupanya dia yang memanggilku. Seorang cowok dengan hem putih bergaris biru, dan bercelana jeans jelek. Tapi, hei...dia cute.
"Lembaranmu jatuh," katanya sambil menyodorkan sebendel foto copy-an.
"Ya ampun," seruku. "Ini bahan buat tugas besok.Kok bisa ya?"
"Ya, jatoh lah. Tadi cepet banget kamu jalan. kayak mau lari aja..."
Aku malah asyik memeriksa lembarannya satu per satu tanpa menghiraukan cowok tadi.

"Thanks, ya..." kataku. Sesaat aku tertegun.Ya ampun, dia tampan banget...
Dia mengangguk sambil melempar senyum di ujung bibirnya. God, dia makhluk paling manis yang pernah Kau ciptakan....

"Aku Niko, anak Teknik Elektro," katanya kemudian.
"Sofie," jawabku.
"Arsitek,kan?" balas Niko.
"Iya. Kok tahu?"
"Aku tadi nemu berkasmu di kampus Arsitek."
"Oh ya? Kamu dari kampusku?"
"Iya, ngantar pacarku," jawab Niko.
Ups....
"Siapa?" tanyaku ingin tahu.
"Wenda," jawab Niko. "Kenal,kan ?"
Yaaach, keluhku dalam hati. Siapa sih di kampus ini yang gak kenal Wenda? si populer, cantik, sexy, dan modis...

"Eh ntar sore ada pembukaan pameran robotic lho, mau dateng, gak? Di Graha..." kata Niko.
"Emmm, aku ada kerjaan, tugas kuliah besok. Aku akan datang lain hari aja deh," jawabku.
"Good! Besok aku SMS deh," kata Niko.
"SMS?" kataku heran.
"Iya, boleh kan?"
Aku tersenyum kikuk.
"Mana nomernya?" tanya Niko sambil mengeluarkan HPnya.
"081..." aku menyebutkan nomerku bagai kerbau dicocok hidungnya.
"Thanks, Sofie..." kata Niko.
Dia kemudian berlalu begitu saja. Sedangkan aku masih tertegun memandang punggungnya, dan sosoknya yang tegap mempesona.

Sehari itu aku memikirkan Niko. Tubuhnya yang tinggi, dagunya yang kokoh, tatapan matanya yang manis dan senyumnya yang menakjubkan itu.
Dari Rima, teman kost sekamarku, aku tahu Niko ternyata sudah terkenal sebagai tetangga kampus yang cakep. He's the idol. Gak heran, dia memang duper cakep. "Tapi dia playboy, Sof...gonta-ganti cewek kerjaannya," kata Rima.

Keesokan pagi, aku bangun dan membaca SMS baru.
Pagi, Sofie...Sore ini, jam 16.00, pintu utara Graha. Aku menunggumu. Niko.
Aku tersenyum.
Dasar playboy, kataku dalam hati. Sudah punya pacar masih saja bermanis-manis dengan cewek lain, bikin ge-er aja...Tapi baiklah, aku juga tidak akan berminat pacaran denganmu, Niko. Let's meet.

Sore itu aku menyempatkan diri pulang dan mandi terlebih dahulu, sebelum ke Graha.
Graha pintu utara, hahahaha....mari kita lihat apa maunya dia.
"Sofie, kamu datang tepat waktu. Kamu rapi dan wangi, so sweet..." sapa sebuah suara.
Aku ngakak. "Jadi, apa hebatnya pameran robotic kali ini?"
"Kita akan cari tahu," kata Niko.
"Wenda ga ke sini, Nick?" tanyaku ragu-ragu. Gila aja, entar dikira ngembat pacar orang.
"Oh tidak, tentu saja dia tidak akan berminat dengan robot kecuali robotnya bisa melayani dia meni-pedi," jawab Niko. Aku tertawa mendengarnya.
Sesore itu aku habiskan di pameran robotic bersama Niko. Tanpa aku sadari, aku begitu nyaman bersamanya, aku kerasan berada di antara lempengan logam dan kabel yang memenuhi ruang pameran. Aku banyak tertawa. Dan bertukar cerita. Hei, aku bahkan lupa bahwa aku baru saja berkenalan dengannya kemarin. Sepertinya...kami sudah saling akrab selama bertahun-tahun...
***

"Kalian makin dekat saja, nih..."kata Rima suatu sore, saat aku baru saja datang.
"Siapa, Rim?" tanyaku.
"Kamu dan Niko The Idol..." sahut Rima.
"Baru aja hunting buku bareng. Itu aja. Kenapa emang?"
"Kalian pacaran ya?"
"Enggak lah. Enggak mungkin banget," jawabku.
"Minder ya, saingan sama Wenda?" sindir Rima.
Aku tergelak. Maybe...

Tapi jauh dalam hatiku aku sedang berpikir tentang pertanyaan Rima. Aku semakin dekat dengan Niko. Kami seperti dua teman lama yang bertemu kembali. Niko memiliki kepribadian yang sangat menarik di balik segala kelebihan fisiknya. Dan kuakui aku merasa senang dekat dengannya.

Kini tanpa aku sadari aku terlibat lebih jauh secara emosi dengannya. Sesuatu yang tak pernah terlintas dalam pikiranku, untuk jatuh cinta padanya...Iya, karena sejak semula aku dan dia mempunyai perbedaan yang fundamental, beda keyakinan.

Tuhan, bisikku dalam hati. Ijinkanlah aku bersamanya...sampai suatu saat yang memisahkan kami.
***
"Mau ice cream apa?" tanya Niko.
"Stroberi," jawabku.
"Selalu yang warna pink,"kata Niko sambil menyodorkan sebuah cone ice cream.

Suatu sore setelah kuliah. Niko menjemputku di kampus Arsitek. Aku sempat bertemu Wenda tadi. Anehnya aku merasa biasa saja ketika melewatinya dan menghampiri Niko yang menungguku di parkiran sepeda motor.

"Niko, what's up denganmu dan Wenda?" tanyaku.
Niko melirikku sambil asyik menjilati ice creamnya.
"Kenapa kau tanya?" tanyanya balik.
"Kau tidak pernah cerita tentang kamu dan Wenda,"
"Kau tidak pernah bertanya," kata Niko.
"Niko, ayolah...aku serius,"
Niko menatapku, "Aku sudah putus dengannya."
"Oh benarkah? Tapi bukan karena aku kan, Niko?"
"Mungkin iya, or mungkin emang aku sudah gak nyambung dengan dia aja," jawab Niko.
"Nick, kenapa sih kamu gak pernah cerita? Aku kira kalian baik-baik saja. Aku tidak mau jadi penyebab hubungan kalian putus..."
"Sofie...memang kamu pernah perduli? Denganku dan Wenda? Enggak, kan... Ya sudah deh, lupain aja."
"Kok kamu ngomongnya sengit gitu, Nick?"
"Emang kan? Selama ini aku lebih sering bersamamu daripada sama Wenda, Lalu apa anehnya kalau aku dan Wenda putus?"
"Niko!" seruku.
"Kau mau aku bilang apa ke Wenda? we're just friends?"
Aku terdiam. Speechless.

Aku mungkin tak pernah perduli tentang kamu dan Wenda. Karena aku menginginkanmu.
Tapi kamu tahu, kita gak mungkin pacaran kan, Nick... Kalaulah kita pacaran, kita gak mungkin menikah.
Kamu tahu, aku tahu. Dan itu sudah menjadi kesepakatan kita.

Dan kesepakatan kita juga, bahwa kita akan mengakhiri kemesraan ini, akhir tahun ini.
This is November. Dan  Niko bilang dia baru saja putus dengan Wenda.

"Kau jangan mempersulit keadaan. Buatlah ini mudah bagiku, Niko....." kataku.
"Aku tidak mau." kata Niko.
"Desember, right?" Aku mencoba mengingatkan.
"Tidak akan, Sofie. Aku tidak mau berpisah denganmu..." kata Niko. "Aku putus dengan Wenda karena aku ingin bersamamu..."


Aku tersenyum, ada rasa bahagia menyeruak di lubuk hatiku. EGP dengan Wenda...!!
"Thanks ya..." kataku.
Niko membelai pipiku. "you're welcome, sweetheart..."
"Ice creamnya meleleh tuh, dari tadi bengong aja..." kata Niko kemudian. "Kamu manis walaupun sedang cemot."
Aku tertawa kemudian.
Sore yang indah.
***

Setahun berlalu dengan cepat.
Aku dan Niko. Sebuah kemesraan yang sulit ditolak. Sebuah jalinan yang terdengar absurd...
Sama-sama membodohi diri sendiri, untuk menyadari bahwa suatu hal yang menyakitkan menanti di ujung sana. 
Ya, kami juga bertengkar...for silly arguments. Tapi tiap-tiap pertengkaran membuatku semakin dekat dengannya.

Entahlah, entahlah... aku tidak mau berpikir apa pun saat ini. Aku tidak mau mendengar nasehat-nasehat apa pun tentang aku dan Niko. Tolong, jangan urusi hatiku. This is my life. Dan ada Niko di sana sekarang. So, be it....

31 Desember. Saat semua orang bergembira ria merayakan old and new...aku tidur-tiduran di kamarku sambil menatap layar kosong emailku.

"Sofie, tahun baru ke mana?"
"Belum tahu, mungkin di rumah saja, menulis surat buatmu," jawabku.
"Kenapa sih repot? Kirim pake e-card saja, tinggal set tanggal dan waktu...Kita liburan yuk"
"Gak lucu, Niko. Time is up." sahutku kesal.
Ya, aku kesal pada diriku sendiri. Aku ingin bersamanya. Tapi aku juga ingin berpisah dengannya.

Apa yang harus aku tulis?
Aku tidak sanggup berkata "Selamat Tinggal" padanya.
Bagaimana jika "Terima kasih untuk semuanya..."
Jari-jariku terasa kelu seketika.
Terbayang kembali saat pertama aku mendengar suaranya, "Hei, tunggu..!"
Ya Tuhan, kenapa harus Niko yang menemukan berkas copy-an itu...

Tak terasa air mataku meleleh. Niko, mengapa begitu berat untuk pergi darimu...
Akhirnya aku tertidur dengan sendirinya di depan laptopku.

Pagi-pagi sekali Rima mengagetkan aku dengan suara terompetnya yang memekakkan telinga itu.
"Sialan, Rima! Bisa rusak ni telinga..." makiku sambil setengah ngantuk.
"Anak-anak kemarin main ke rumah Anggie lho, ada pesta barbeque di sana. Girls only, khusus jombloers..."celoteh Rima.
"Ooooh..."
"Pergi ke mana saja jeng, sama si Niko?" tanya Rima.
"Hah?! Aku gak kemana-mana, jeng...hellooo..." jawabku kesal.
"Haah?! Ini kan tahun baru, Niko ngapain aja, hellooo...." ledek Rima.
"Ga tahu deh," sahutku. Tiba-tiba mataku tertumbuk pada notification inbox emailku.

This is it. Surat dari Niko.

Dengan bergetar aku klik email dari Niko.



Aku tersenyum. Terima kasih Niko.
***

~bersambung~